
Peneliti Madya pada Forum Hukum dan Kebijakan Ibadah Haji dan Umrah Indonesia (FHKI-HU Indonesia);
Perhimpunan Advokat Syariah Haji dan Umrah Nasional (PASHUN);
dan Lembaga Konsultan dan Advokat Haji-Umrah Indonesia (LEKAHI)
Revisi Undang-Undang Haji dan Umrah merupakan manifestasi politik hukum yang strategis karena menyentuh aspek legitimasi negara dalam pengaturan ibadah umat yang berskala internasional. Dalam pembahasan yang dimotori oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) melalui Komisi VIII dan Pemerintah, terdapat upaya untuk memperkuat kelembagaan penyelenggara haji, yakni dengan mengusulkan agar Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BP Haji) atau lembaga yang setara menjadi instansi pemerintah setingkat kementerian agar posisinya sejajar dengan otoritas haji di negara asal yakni Arab Saudi. Selain itu, politik hukum juga terlihat melalui dorongan pembahasan revisi yang menegaskan perlindungan jemaah, penataan visa non-kuota dan kuota haji, serta mekanisme biaya penyelenggaraan haji (BPIH) agar lebih transparan dan akuntabel. Namun, di balik upaya tersebut, terdapat tantangan politik hukum yang kompleks, perubahan regulasi ini tidak hanya sekadar memperbaharui undang-undang, tetapi juga mensyaratkan keseimbangan antara kepentingan negara dalam diplomasi internasional, hak jemaah haji sebagai warga negara, serta kepentingan industri penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Wacana mengenai haji mandiri atau jalur non-kuota yang belum diatur secara jelas menjadi sorotan utama dalam DPR. Di sisi lain, perubahan kelembagaan bisa memunculkan resistensi birokrasi atau tumpang tindih kewenangan antara lembaga lama dan yang baru serta memerlukan kesiapan teknis dan anggaran yang tidak sedikit. Dengan demikian, politik hukum revisi UU ini bergeser dari sekadar merespons kebutuhan regulasi semata, menjadi arena negosiasi kekuasaan, institusi, dan hak konstitusional yang harus diatur secara matang agar implementasinya nanti berjalan efektif dan legitimasi sosialnya terjaga. Revisi UU Haji dan Umrah telah disahkan menjadi undang-undang pada 26 Agustus 2025 dan secara resmi mengubah Badan Penyelenggara (BP) Haji menjadi Kementerian Haji dan Umrah. Revisi ini juga mencakup perubahan penting lainnya, seperti melegalkan opsi umrah mandiri, serta adanya ketentuan kuota haji reguler sebesar 92% dan khusus 8%. Hal terpenting, Badan Penyelenggara (BP) Haji secara resmi berubah menjadi Kementerian Haji dan Umrah pada Selasa, 26 Agustus 2025. Hal ini setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Perubahan ini bertujuan; (1) meningkatkan pelayanan, (2) mengintegrasikan koordinasi antara pemerintah dan negara lain (khususnya Arab Saudi), dan (3) mengatasi masalah seperti daftar tunggu haji. Pemerintah dan DPR telah melegalkan umroh secara mandiri melalui undang-undang terbaru, yakni UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, atau selanjutnya disebut sebagai UU PIHU (Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah).
UU Nomor 14 Tahun 2025 menegaskan “Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan a. melalui PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah); b. secara mandiri; atau c. melalui Menteri,” begitu bunyi Pasal 86 Ayat 1 UU 14 Tahun 2025 tentang PIHU. Aturan ini mengubah aturan yang ada sebelumnya, yaitu UU Nomor 8 Tahun 2019 yang menyatakan ibadah umrah hanya dapat dilakukan lewat PPIU atau biro perjalanan umrah dan pemerintah. Lalu, apa dampak negatif atau positif umrah mandiri? Umroh mandiri tampak memberikan kebebasan, namun sebenarnya mengandung risiko, perlindungan hukum, maupun pendampingan di Tanah Suci, dan bimbingan manasiknya. Secara hukum, jika terjadi gagal berangkat, penipuan, atau musibah kehilangan bagasi dan keterlambatan visa, tentunya tidak ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Jamaah juga bisa terjerat pelanggaran aturan di Arab Saudi karena minimnya pemahaman terhadap regulasi Arab Saudi, seperti visa yang overstay, larangan berpakaian beratribut politik, atau aktivitas yang dianggap mengganggu ketertiban umum.***
